JAKARTA [siagasatu.co.id] – Sebaran kasus acute kidney injury (AKI) atau gangguan ginjal akut misterius pada anak makin luas. Berdasar data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hingga kemarin (23/10) sore temuan kasus tersebut telah dilaporkan di 26 provinsi.
Ke-26 provinsi tersebut antara lain adalah Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Jambi, Kepulauan Riau, Sumsel, Lampung, dan Bangka Belitung. Kemudian DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, DI Jogjakarta, dan Bali. Lalu NTT, NTB, Kaltara, Kalteng, Kalsel, Sulsel, Sultra, Sulut, Gorontalo, dan Papua.
Total ada 245 kasus AKI. Sebanyak 141 anak dilaporkan telah meninggal dunia dan 66 anak masih dirawat. Sejauh ini yang sudah dinyatakan sembuh baru 38 anak.
Kemenkes memberikan obat penawar (antidotum) untuk menekan peningkatan angka kematian anak-anak yang teridentifikasi penyakit gagal ginjal akut. Obat penawar yang diimpor dari Singapura itu sejauh ini cukup ampuh memulihkan anak-anak dari penyakit misterius tersebut.
Di luar itu, pemerintah juga memeriksa obat-obat yang berpotensi terdapat cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Dua jenis cemaran tersebut dikaitkan dengan kasus gangguan ginjal akut misterius yang mengakibatkan beberapa anak meninggal dunia.
Kemarin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan obat yang tidak menggunakan bahan baku yang berpotensi terdapat cemaran EG dan DEG.
Kepala BPOM Penny K. Lukito menyatakan, lembaganya telah menelusuri produk obat sirup dan drops. Ada 133 obat sirup yang ditemukan tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol. Empat bahan tersebut diduga memiliki cemaran EG dan DEG.
Lalu, penyelidikan pada 102 obat yang digunakan pasien AKI juga sudah diteliti BPOM. Dari jumlah tersebut, ada 23 produk yang tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol.
Kemudian, ada tujuh produk yang dinyatakan aman digunakan meski menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol.
“(Sebanyak) 69 produk masih dilakukan uji sampel,” ujarnya.
Penny memastikan, tidak ada propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol yang digunakan oleh industri farmasi Indonesia yang berasal dari India. Di Gambia, Afrika Barat, juga terjadi kasus AKI. Cemaran EG dan DEG dari obat yang diimpor dari India diduga menjadi biangnya.
Penny juga menyebutkan, ada tiga produk yang mengandung cemaran EG atau DEG yang melebihi ambang batas aman. Yakni Unibebi Cough Syrup, Unibebi Demam Drop, dan Unibebi Demam Syrup yang diproduksi Universal Pharmaceutical Industries.
“Untuk Konimex pada batch lain aman,” ucap dia. Sebelumnya merek tersebut masuk dalam nama produk yang mengandung cemaran EG atau DEG.
Penny menegaskan bahwa seluruh UPT BPOM mengawal proses penarikan peredaran obat sirup yang mengandung cemaran EG atau DEG yang melebihi ambang batas.
Selain itu, BPOM melakukan patroli siber di media sosial hingga e-commerce untuk menelusuri penjualan produk yang tidak aman.
“Ada 4.922 link yang teridentifikasi melakukan penjualan obat sirup yang dinyatakan tidak aman dan akan di-take down,” tegasnya.
Penny meminta industri farmasi kooperatif. Salah satunya, apabila mengganti bahan baku, agar melapor kepada BPOM. Penny juga berjanji mengetatkan pengawasan obat-obatan yang beredar di Indonesia.
Terpisah, mantan Direktur WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengatakan, setidaknya ada lima kejadian penyakit gagal ginjal akut yang dihubungkan dengan sirup obat yang terkontaminasi atau tercemar DEG di India yang mengakibatkan 80 kematian. Terjadi pada 1972 dan 2019 hingga 2020.
“Antara April dan Juni 1998, misalnya, sedikitnya ada 36 anak berumur antara dua bulan dan enam tahun meninggal akibat gagal ginjal akut di rumah sakit di daerah Delhi sesudah meminum obat yang tercemar dietilen glikol,” ungkap dia.
Pada rentang Desember 2019 hingga Januari 2020, 14 bayi meninggal. Bahan DEG ditemukan pada sirup obat batuk yang pernah diminum bayi itu. Di Indonesia, kenaikan kasus AKI cukup pesat. Pada 18 Oktober, Kemenkes secara resmi menyampaikan ada 206 kasus gagal ginjal akut pada anak.
Lalu, 21 Oktober diumumkan jumlah kasus naik menjadi 241 anak dan angka meninggal tercatat 133 kasus.
Menurut Tjandra, kenaikan yang pesat dalam kurun tiga hari disebabkan dua hal. Pertama, kasus yang dilaporkan bukan kasus baru. Hanya, pencatatannya baru muncul.
“Kalau ini yang terjadi, maka bukan tidak mungkin akan ada tambahan kasus-kasus lagi dan harapannya agar proses pencatatan dan pelaporan kasus dapat terus makin intensif,” ujarnya.
Penyebab yang kedua, dapat juga 35 kasus memang kejadian sakit yang terjadi antara 18 dan 21 Oktober. Karena itu, Tjandra mendesak agar segera diumumkan ke publik penyebab sakit dan kematiannya.
“Penjelasan terperinci seperti ini perlu disampaikan ke publik dari waktu ke waktu agar masyarakat dapat melihat masalahnya dengan utuh dan lengkap serta mengambil sikap secara jernih,” tutur mantan Dirjen Pengendalian Penyakit Kemenkes tersebut.® (JPG)