TARAKAN [siagasatu.co.id] – Diberitakan sebelumnya, menyinggung statement Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara (Sekprov Kaltara), Suriansyah yang menyatakan bahwa tidak masalah junior membawahi senior asal memenuhi syarat minimal sesuai kompetensi.
Atas pernyataan Sekprov tersebut, kemudian berbuah kritik menohok dari Ketua Lembaga Nasional Pemantau dan Pemberdayaan Aset Negara Provinsi Kaltara, Fajar Mentari. Pria yang akrab disapa FM ini menyebutkan bahwa pernyataan tersebut adalah pernyataan blunder, subjektif, dan tidak relevan. Alasannya tidak ada instrumen yang jelas untuk dijadikan parameter sehingga seseorang dikatakan layak karena berkompeten, dimana untuk sekelas eselon III dan IV itu tidak ada uji kompetensi seperti eselon II yang mengikuti proses asesmen atau Selter (seleksi terbuka).
Selain itu, FM juga melayangkan tantangan debat terbuka dalam rangkaian dialog publik untuk menguji kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan secara objektif dan transparantif di hadapan seluruh ASN Pemprov Kaltara dan masyarakat, sehingga demikian menghindari adanya dusta di antara kita.
Tak selesai sampai di situ, FM masih saja mencecarnya dengan sederet kritik. Menurut FM, bahwa untuk jabatan eselon II itu semi politis.
Alasan FM menyebut semi politis, karena banyak temuan yang umum terjadi di semesta Indonesia ini ASN yang menduduki dulu baru sekolah penyesuaian, bukan sekolah penyesuaian dulu baru menduduki. Kalau di luar organisasi ASN, hal ini biasa diistilahkan ‘karbitan’ yang diusung secara implisit. Tapi kalau di ASN, istilah ini mungkin tidak berlaku.
“Saya bukan dari unsur ASN, jadi maklum jika Saya ada atau banyak keliru, tapi dengan adanya peristiwa ini, Saya terpanggil untuk belajar, Saya merasa empati, Saya terdorong untuk merasakan bagaimana jika Saya di posisinya. Mungkin apalagi jika Saya ASN, dimana Saya pasti merasakannya langsung, tentu akan menambah semangat Saya untuk menyuarakan, bahkan meskipun berkonsekuensi mengorbankan karier, jabatan atau terburuknya dipecat. Saya akan pertaruhkan segala apapun yang melekat di tubuh ke-ASN-an saya,” imbuhnya agar dimaklumi.
Maju terus pantang mundur, FM masih terus mengutui pernyataan Sekprov.
“Karena Sekprov bicara menggunakan contoh, maka Saya juga mau bicara pakai contoh. Jadi kita main contoh-contohan ya. Jadi benar saja permisalan yang dinyatakan Sekprov bahwa untuk eselon II.B yang menjabat Kabiro (Kepala Biro) dengan pangkat golongan ruang minimal pelamar adalah pembina IV-a, bahkan IV-b hingga ke IV-e pun boleh melamar jabatan yang ditawarkan dalam Selter. Akan tetapi, tak elok rasanya semisal yang jadi pemenangnya itu IV-a sebagai Kabiro jika dalam organisasi biro tersebut ada ASN yang memiliki golongan lebih tinggi sekaligus pernah duduk sebelumnya sebagai Kadis (Kepala Dinas) yang misal golongannya IV-b hingga IV-d dan kompetensinya dibuktikan pernah ikut Diklatpim (Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan)-2, sementara si IV-a (Kabiro) belum pernah ikut Diklatpim-2,” jelas FM saat diwawancara siagasatu.co.id di BossQ Caffe House di bilangan Jalan Kusuma Bangsa, Gunung Lingkas Tarakan, pada Sabtu malam (13/8/2022) lalu.
Lanjutnya menjelaskan, begitu pun umpama IV-b yang dilantik sebagai eselon II.A, dimana mitra koordinasinya yaitu Kadis yang rata-rata IV-c dan IV-d yang kompetensinya juga dibuktikan oleh Diklatpim-2, sementara eselon II.A dengan golongan IV-b tersebut belum pernah ikut Diklatpim-2.
Untuk eselon II itu sudah melalui uji kompetensi dibuka pintu Selter, sehingga kadarnya kurang tepat jika dijadikan parameter. Jadi, sebenarnya tidak ada masalah yang sebegitu prinsip, tapi karena berangkat dari apa yang dicontohkan oleh Sekprov, maka alasan itu masih ada ditemukan celah untuk kemudian dijadikan masalah jika mau bicara asal ada alasannya, hanya sebatas alasan.
Adapun pejabat eselon III dan IV yang misalnya eselon III.A dengan pangkat minimal dilantik III-d, sekurang-kurangnya menjelang tiga tahun lah di pangkat III-d, jangan kurang dari itu, sehingga kompetensinya bisa teruji kendati belum pernah ikut Diklatpim-3.
“Yang lebih ironinya lagi ialah, ada mantan pejabat eselon III.A yang pangkatnya IV-a hingga IV-b telah ikut Diklatpim-3, tapi tidak menjadi bahan pertimbangan prioritas yang hingga saat ini masih tetap jadi eselon IV.A. Nah, untuk eselon II yang oleh karena semi politis mungkin bisa dimaklumi, tetapi untuk eselon III dan IV termasuk yang setara JFT (Jabatan Fungsional Tertentu) dengan sebutan Madya setara eselon III, dan Muda setara eselon IV itu terkesan dipolitisasi,” sergahnya.
Dikatakan FM, jika kita mau jeli memperhatikan secara saksama, promosi pejabat yang dilantik cenderung hanya memenuhi pangkat minimalnya, misal untuk eselon III.A dan JFT Madya yang pangkatnya III-d kurang dari tiga tahun, eselon III.B pangkatnya III-c, serta eselon IV.A dengan pangkat 3-b kurang dari tiga tahun, dan eselon IV.B pangkatnya III-a yang baru selesai dari CPNS 85% kemudian menjadi PNS 100%. Jika eselon III dan IV dipolitisasi, maka bisa dipastikan manajemen ASN bakal amburadul.
“Mengapa penting dalam pemilihan kandidat sebagai pejabat eselon III dan IV wajib mempertimbangkan ‘DIK-DUK’-nya? Artinya jika DIKnya dinilai (diberi skor) baru DUK-nya, bukan sebaliknya DUK baru DIK. Apalagi DUKnya pangkat minimal misal baru satu tahun naik pangkat dari III-c ke III-d, bisa dipastikan yang bersangkutan belum pernah ikut Diklatpim. Meskipun dipilih dan dilantik seorang pejabat itu hak progregatif User (Kepala Daerah), akan tetapi ASN wajib diperlakukan setara dalam pengembangan kariernya, bukan sebaliknya yang terkesan dipolitisasi,” imbuhnya.
Menurut FM, melaksanakan Diklatpim 4 dan Pim 3 wajib dilaksanakan instansi terkait yang akan diikuti maksimal seluruh ASN yang telah memenuhi syarat. Misal pendidikan formal minimal D-3 dengan golongan minimal III-b untuk sebelumnya dilakukan pre test Diklatpim 4, lalu apabila terpenuhi dan dinyatakan lulus, maka ASN tersebut bisa ikut Diklatpim 4. Masalah apakah yang bersangkutan dilantik atau tidak oleh User, itu urusan terpisah. Yang penting sertifikat Diklatpim 4 itu sebagai bahan pertimbangan prioritas untuk diusulkan dan dinilai layak dikandidatkan semisal sebagai eselon IV.A.
Seyogianya, kata FM, untuk memilih pejabat itu lebih memprioritaskan pertimbangan dan perhatian DIK dan DUKnya. Terutama yang DUK yang telah memenuhi ketentuan DIK, agar masuk daftar prioritas, karena menghormati masa baktinya terhadap negara/pemerintah.
“Semisal ada empat kandidat yang telah DUK dan DIK untuk layak eselon III.A. Jika semua indikator yang dinilai sama, selebihnya serahkan kepada User. Jadi, setidaknya yang tidak terpilih itu sudah dihargai untuk dikandidatkan, agar siapa mereka dalam rumahtangga pemerintahan itu dianggap ada,” ujarnya menerangkan.
Dikatakan FM lebih lanjut, bukan mengkandidatkan siapa yang berhubungan dekat saja, bukan mengkadidatkan yang tidak memenuhi ketentuan baik DIK maupun DUK. Jangankan mengkadidatkan yang cuma sebatas kenal, bahkan mengkadidatkan siapa yang dekat juga tidak masalah selama DIK-DUKnya terpenuhi, tapi jangan meninggalkan siapa yang tidak dekat, karena kalau pengkandidatan hanya dicukupkan oleh faktor kedekatan semata yang menjadi alasannya, itu belum tentu memenuhi ketentuan salahsatunya baik DIK ataupun DUK yang bahkan mungkin belum tentu memenuhi keduanya; DIK-DUKnya.
Dicontohkan FM, seperti yang saat ini terjadi, dimana ada kecenderungan DUK (Daftar Urut Kepangkatan) dan DIK (Pendidikan tingkat formal semisal D3, D4, S1, S2, S3) dan pernah ikut Diklatpim 4, Pim 3 atau Diklat formal lainnya yang menunjang kompetensi ASN tidak pernah dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih pejabat. Praktik-praktik seperti ini hampir merata di tiap-tiap OPD (Organisasi Perangkat Daerah).
“Dan sebagai akibatnya, sampailah di titik pernyataan junior dipimpin senior itu benar-benar terjadi. Hal ini mengindikasikan jejak rekam ASN yang ada dalam aplikasi E-Kinerja milik Pemprov dan aplikasi SIMPEG (Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian) milik BKN (Badan Kepegawaian Negara) dan KemenPAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) terkesan tak dipedulikan. Lalu buat apa data base yang ada di dua aplikasi tersebut jika dalam praktik memilih calon pejabat bahkan sampai dilantik tanpa mempertimbangkannya?” tanya FM di akhir wawancaranya.® (Harianto Rivai)