Limbah Pendidikan
Apa tujuan pendidikan yang sesungguhnya?
Di sepanjang sejarah, beberapa tokoh penting telah merumuskan sasaran pendidikan. Tokoh pertama adalah Plato. Ia seorang filosof besar. Di dalam bukunya yang berjudul Republic, Ia sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Plato mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; ada pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran.
Pembebasan dan pembaharuan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa, yang akan mengantarnya ke ide yang tertinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan.
Tokoh lain adalah Aristoteles, seorang filosof besar dan juga murid Plato. Ia mempunyai sasaran pendidikan yang mirip dengan Plato. Tetapi, Aristoteles mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara yang harus sama pula dengan sasaran utama pembuatan dan penyusunan hukum serta harus pula sama dengan tujuan utama konstitusi, yaitu kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia).
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak akan lepas dari isu sentral atau tudingan masyarakat jika ada kenakalan remaja pelajar. Kemerosotan moral pelajar yang kerap terjadi seakan-akan merupakan kegagalan lembaga pendidikan untuk membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Terlebih lagi orang tua dan guru, selalu menjadi sasaran empuk yang dituduh gagal membentuk moral anak.
Sebenarnya penanaman moral secara garis besarnya sangat terkait dengan lingkungan sekitar. Rasa kebersamaan, senasib dan sepenanggungan, sirna di bawah ideologi kebendaan, hedonisme, materialistik, dan kapitalisme. Akhirnya muncul suatu opini “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”
Slogan ini pernah terungkap dalam berita bahwa orang kaya (milyarder) di Indonesia bertambah, sementara orang yang miskin juga semakin banyak. Selain itu pula muncul krisis pembenaran terhadap problematika sosial yang keliru, sehingga menghancurkan reputasi kesadaran akal sehat.
Akibatnya semakin marak bentuk tawuran di kalangan masyarakat itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa kenakalan remaja di kota besar sudah menjadi bagian dari gaya hidup berkelompok. Tidak saja bagi para pelajar SLTP dan SMU, akan tetapi mahasiswa, orang dewasa bahkan elit politik suka dengan tindakan-tindakan yang tak pantas dipertontonkan bagi khalayak ramai.
Maraknya kasus korupsi di kalangan elit politik memberikan cermin yang tidak baik bagi pelajar putera-puteri di negeri Indonesia yang kita banggakan.
Mengajarkan mereka untuk mencontek, karena dengan mencontek adalah suatu sikap yang dapat melahirkan potensi untuk korup.
Meriahnya kasus perkelahian atau tawuran antar mahasiswa bahkan di ruang rapat paripurna. Di tengah pertarungan politik dan ramainya membicarakan reformasi serta globalisasi, marilah kita juga turut prihatin dengan maraknya perkelahian pelajar, masalah narkoba, seks bebas, dan terutama kecenderungan anak-anak didik kita kurang menghormati bapak/ibu guru, bahkan lebih lagi kepada orang tua mereka.
Keengganan dan kemandulan sikap ilmiah pada generasi muda kita saat ini lebih banyak disebabkan oleh orientasi keberhasilan, yang menjadi tolok ukur sukses dalam hidupnya. Ukuran kesuksesan yang semata-mata hanya diukur dengan seberapa banyaknya harta dan materi yang dapat dihasilkan.
Situasi ini menyebabkan generasi muda kita terjebak pada pola hedonisme dan glamorisme. Ini berakibat muncul lingkungan yang penuh dengan kekerasan sosial dan tekanan hidup yang berlebihan, yang berujung pada frustasi berkelanjutan serta menyebabkan rusaknya tatanan sosial dalam bermasyarakat.
Akibat dari rusaknya tatanan sosial tersebut, maka tanggungjawab moral terabaikan, dan di ujung tanduknya adalah pelampiasan tercela menjadi bagian dari gaya hidup mereka.
Kalau dikaji secara perspektif, penyebab kemerosotan moral pada diri anak bukan hanya karena adanya penurunan akhlak dan kurangnya pemahaman terhadap nilai agama. Penyebab kemerosotan moral juga terjadi lantaran tersajikannya menu atau fasilitas maksiat, seperti tempat hiburan atau klub malam, rumah bordil (lokalisasi), dan legalitas minuman berakohol.
Untuk apa program pencegahan HIV dan Aids jika kenyataannya sumber masih terpercaya (lokalisasi masih dipercaya tidak memberikan dampak HIV dan Aids. Terang saja, karena lokalisasi berdiri tentu atas persetujuan/izin dari pemerintah).
Tak ada yang mampu mengontrol 1×24 jam dan menjamin bahwa anak tidaklah mungkin terperangkap dalam kemaksiatan atas menu yang telah rapi tersaji, dan tidaklah menutup kemungkinan bahkan besar kemungkinan mereka terjerumus ke arah yang tidak kita inginkan itu.®