KALIMANTAN UTARA [siagasatu.co.id] – Untuk membongkar teori persekongkolan tender itu sulit dibuktikan, karena apabila kerjasamanya sudah sama, maka sulit untuk “membongkar” dimana letak kekeliruannya.
Perihal terurai di atas, sesuai hasil wawancara awak media pada Senin 18/7/2022 kepada Dr Bastian Lubis, mantan auditor yang malang melintang di profesi itu selama bertahun-tahun.
Menurutnya, masalah itu bisa terbongkar apabila ada praktik pembagian keuntungan yang tidak merata. “Itu yang Saya lihat dimana-mana,” ucap Bastian.
“Hanya saja kalau dilihat secara administrasi, misalnya anggap saja si A dan si B secara kasat mata bisa terlihat, tapi kita perlu juga melihat hasil kerjanya. Kalau dilihat maksimal, kenapa kita harus melihat yang di belakangnya,” imbuhnya.
Dikatakannya, terkecuali hasil kerjanya tidak bisa dipertanggungjawabkan, semisal mark up-nya tinggi. Namun, yang namanya mark up ini juga ada klasifikasinya. Ada tiga unsur yang harus terpenuhi untuk perlu diperhatikan dan dicermati.
“Seperti menaikkan harga dari standar baku yang sudah ditetapkan, sebab setiap item spesifikasinya harus sama. Selanjutnya harus mempunyai waktu yang sama. Dan terakhir, tempat yang sama,” sebut Bastian menjelaskan.
Jadi, berdasarkan pengalaman Saya, yang namanya mark up itu umumnya sangat sulit dibuktikan di pengadilan jika tidak ada pembanding aple to aple. Sebagai mantan auditor tidak mungkin kita membuat justifikasi ini mahal atau tidak,” imbuhnya lebih lanjut.
Dicontohkan Bastian, seperti pengadaan E-KTP, kemarin semua institusi yang mengurusi terlibat, mulai Kejaksaan, Mabes Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Ternyata terbongkarnya persoalan mark up-nya malah dari luar negeri.
“Jadi, ada terobosan yang baru, muncullah majelis tuntutan ganti rugi. Majelis tersebut meminimalkan terjadinya pengeluaran uang negara atau daerah yang tidak kembali.
Sekarang misalnya temuan-temuan oleh BPK kuasa yudisialnya masih sengketa administrasi. Sehingga banyak yang merasa ketakutan melakukan kegiatan-kegiatan operasional. Kenapa?, karena takut diperiksa, maka takut melangkah,” sergahnya menjelaskan.
Lanjut Bastian, sehingga penyerapan anggaran menjadi lamban. Oleh sebab itu, beberapa waktu lalu Presiden Republik Indonesia, Ir H Joko Widodo mengumpulkan semua penegak hukum.
“Jadi, sekarang good governance pemerintah sudah berjalan. Harapannya, uang penyerapan yang ada bisa tersalurkan dan tidak terjadi mark up atau korupsi. Kalau fiktif, ya sikat!” tegasnya.
Dijelaskan Bastian, tapi kalau hal administratif yang salah, itu merupakan hal yang biasa dan kerap terjadi dimana-mana. Berbicara soal keuntungan 10% dari jumlah lelang proyek, hal yang wajar. Dalam arti kalau lelangnya Rp1 Miliar, maka masih wajar kalau keuntungannya di bawah 20%. Lalu kenapa harus 20%?, karena yang 10% nya untuk pembayaran PPN dan PPH. Logika Keuntungan setiap proyek itu maksimal hanya 10%, setelah potongan PPN dan PPH.
“Jadi, kalau keuntungan di atas 20% itu sangat tidak wajar dari nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau Owner Estimate (OE)nya,” terangnya.
Bastian juga mengatakan bahwa semua lelang atau kegiatan itu harus dilihat jenis klasifikasi sumber mata anggarannya apa.
Contoh, kenang Bastian, pernah terjadi di suatu departemen membeli yang namanya mobil merek Kijang, tapi yang datang mobil buatan China yang harganya jauh di bawahnya. Karena spesifik bisa ditunjuk langsung dan tidak ada pelanggarannya.
“Jadi, kita melihatnya jangan sampai hal ini sulit diimplementasikan di lapangan. Artinya, soal tender yang diatur sulit untuk dibuka. Coba kita lihat di Migas saja, ‘kan sederhana, yang masuk adalah perusahaan-perusahaan konsorsium yang punya pengalaman sejenis yang sama. Sehingga ketika pelaksanaan tender terbuka persyaratan untuk Migas, berarti orang-orangnya sendiri yang masuk, yang masuk harus pakai ketentuan anggota. Makanya Gapensi kemarin ada sertifikasi kompetensi. Itulah salah satu pola untuk menghindari soal ketidak profesionalan,” ungkap Bastian.
Bastian juga menuturkan bahwa soal persekongkolan tender sulit dibuktikan, tapi bisa dilihat dari hasil akhir kegiatannya, benar tidak pekerjaannya, cocok tidak spesifikasinya. Kalau spesifikasinya cocok, pekerjaannya sama, tersedia dan lain-lainnya, menurutnya tidak apa-apa, daripada menghabiskan energi untuk membongkar prosedur-perosedur saja.
“Berbicara soal tender, juga ada klasifikasinya, seperti Penunjukan Langsung (PL) ada yang namanya Lump sum Kontrak, Unit Price. Bahkan saat ini pemerintah mengadakan kegiatan yang namanya e-Katalog, dengan penyesuaian paling maksimum 10% keuntungan untuk pelaksana,” lanjutnya memaparkan.
Dikatakan Bastian lebih lanjut, jadi sesuai harapan Presiden, semuanya masuk e-Katalog tersebut. Kendati demikian ada kegiatan yang tidak bisa di e-Katalogkan, seperti kegiatan bangunan sub konstruksi, karena strukturnya langsung dan bangunannya spesifik.
“Sama halnya jenis kegiatan kontribusi, ini juga bersifat langsung. Seperti seminar, pelatihan,” tutup Bastian.®
Sumber : Dilansir dari portal berita online Jurnalkaltara.com