TARAKAN [siagasatu.co.id] – Saat Ketua Lembaga Nasional Pemantau dan Pemberdayaan Aset Negara (LNPPAN)
Provinsi Kalimantan Utara, Fajar Mentari kembali menyerempet statement Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Utara (Sekda Kaltara), Suriansyah yang menyatakan bahwa tidak masalah junior membawahi senior asal memenuhi syarat minimal sesuai kompetensi.
Diberitakan sebelumnya, pria yang sering disapa FM ini menyebutkan bahwa pernyataan tersebut adalah pernyataan blunder, subjektif, dan tidak relevan. Alasannya tidak ada instrumen yang jelas untuk dijadikan parameter sehingga seseorang dikatakan layak karena berkompeten, dimana untuk sekelas eselon III dan IV itu tidak ada uji kompetensi seperti eselon II yang mengikuti proses asesmen atau seleksi terbuka.
“Catat ini ya, tolong masukkan ke redaksi, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, kita biasa dipertemukan dengan orang-orang yang ketika diajak bicara itu bisa paham jika kita menyampaikannya secara lugas yang bukan berarti tidak sopan,” ujar FM menegaskan di awal wawancara dengan siagasatu.co.id di The Kopitiam Kampung Bugis Tarakan, Jum’at malam (5/8/2022).
Sebelum lanjut diwawancarai, FM menyampaikan permohonan maaf, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan bukan maksud merendahkan. “Tidak!, tapi kelugasan Saya bicara semata-mata murni untuk memberikan sajian objektif kepada publik, berdasarkan fakta, tidak mengada-ngada, tujuan edukasi agar sistem bisa berlangsung dengan sehat sesuai asas kepatutan,” imbuhnya menerangkan agar tak disalah maknai.
FM mencontohkan, semisal yang terjadi di Balai Perikanan Budidaya Laut dan Payau. Kepala UPT-nya itu pindahan dari Rumah Sakit sebagai Kepala Bagian Kepegawain. Beliau ini sehat tapi mengalami lumpuh yang cacat paten pada bagian kakinya, sehingga Ia bekerja menggunakan kursi roda. Demikian pun Kasubbag TU-nya yang alami gangguan stroke.
“Kepanjangan dari UPT saja sudah jelas, Unit Pelaksana Teknis, yang dalam arti kerjaannya itu lebih bersifat teknis, yang kerjaannya lebih butuh banyak di lapangan, di mana penempatannya itu direncanakan untuk produksi bibit rumput laut (RL) yang merupakan sektor penyerap tenaga yang besar di lapangan usaha perikanan,” terangnya.
Dikatakannya, target balai itu produksi bibit. Sebelum balai di Binalatung Tarakan terbangun, target utamanya itu ‘kan bibit RL, yang menggunakan perahu, dan lain-lain, bukan kursi roda.
“Maksud Saya, tidak ada masalah dengan promosinya, tapi yang menurut Saya masalah itu lebih menitikberatkan pada ketidaksesuaian penempatannya. Dipekerjakan di tempat yang tidak menyesuaikan kondisi orangnya. Lalu dari mana dasar faktanya seperti apa yang dikatakan Sekda, apakah fakta di lapangan sudah berkesuaian dengan penyampaiannya, apakah seperti itu contohnya yang dimaksud syarat minimal kompetensi, apakah pernyataan Sekda terkait sesuai kompetensi itu bisa dipercaya, bisa dipertanggungjawabkan?” tanya FM.
Menurut FM, jika pun ingin dipromosi, maka hargailah Ia di tempat yang semestinya, berikanlah penghargaan sesuai penempatannya, tempatkan Ia di tempat yang selayaknya.
Ungkapnya lagi melanjutkan, pada kasus berbeda, seorang dokter specialist radiologi yang ditempatkan di Dinas Kesehatan (Dinkes), dimana fungsi utamanya ialah di pelayanan membaca hasil rontgen pasien. Dokter tersebut bukan berarti tidak bisa bekerja jika ditempatkan di Dinkes, tapi Ia lebih sangat dibutuhkan di pelayanan. Ia sangat dirugikan dalam hal pengumpulan kredit point 500 untuk Struktur Teks Prosedur (STR) izin prakteknya, sebab dokter harus punya izin praktek di Fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) tempatnya bekerja.
Dan lebih kasihan lagi, imbuh FM, masyarakat yang harus menunggu lama hasil rontgen, karena di RSUD tempat sebelumnya Ia ditempatkan itu dokternya hanya satu. Jadi miris melihat penempatan orang yang tidak sesuai kompetensi, karena berimbas pada pelayanan masyarakat.
“Belum lagi pertimbangan yang menurut Saya pribadi kurang sehat, karena ada beberapa dari mereka yang hanya sisa beberapa bulan pensiun. Ia dari RSUD dr Jusuf SK di Tarakan yang dimutasi ke Tanjung Selor. Dan salah satunya itu sedang sakit diabetes. Coba bayangkan berapa biaya yang harus Ia korbankan, cari kontrakan beserta isinya, pisah dengan keluarga, harus mempersiapkan kendaraan untuk ke kantor, biaya transportasi speedboat bolak-balik jika Ia pulang ke keluarganya di hari libur pegawai. Coba bayangkan itu di posisi anda. Apakah ini juga masuk bagian atas pertimbangan Baperjakat karena berdasarkan kompetensinya?” katanya dengan nada tanya.
FM lanjut mempertanyakan, apakah ini sudah menggambarkan intuisi bekerja dengan sehat?, ini inisiatif yang sempurna atau inisiatif yang tidak bijak? Ini seperti batu yang jika dilempar ke publik, tapi sakitnya tuh di kedalaman hati ASN yang paling dasar, khususnya ASN yang merasa hak kemanusiaannya terjajah.
Dipertanyakannya lagi, apakah kesemuanya itu masuk kategori berdasarkan kompetensi, apakah penilaian Baperjakat sudah menyesuaikan kompetensinya?
“Berbeda pendapatlah untuk perubahan yang lebih baik, bukan beda pendapat karena beda pendapatan. Jangan tirani membutakan nurani yang pada akhirnya pemerintah hanya berada di titik tentang bagaimana menuju pemerintahan yang bersih sudah kontra produktif dengan misi gubernur untuk mewujudkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang cerdas, kreatif, inovatif, berakhlak mulia, produktif, dan berdaya saing. Lalu siapa yang mau disalahkan? Baperjakat?” pungkas FM di ujung pertanyaannya.® (Harianto Rivai)