Limbah Pendidikan
“Pendidikan”, kata ini mungkin dirasakan sangat mewah untuk kita simak. Pernahkah terpikirkan oleh kita, di negara yang menjadikan misi ”mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai tujuan pendirian negara ternyata masih mengalami kejanggalan dalam mengakses pendidikan? Buktinya penegasan dan penegakan perundangan tak mampu dihembuskan! Jika kita mengintip pada konteks atau wilayah realitas pendidikan yang ada pada saat sekarang ini masih sangat memprihatinkan. Permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan sangatlah kompleks. Aplikasi perundangan yang mengatur tidak memiliki sinergitas dengan implementasi lapangan, atau dengan kata lain tidak adanya relevansi riil atas program kerja pemerintah untuk tetap komitmen dan konsisten dalam rangka membenahi bidang pendidikan yang sejatinya merupakan investasi yang paling rasional dan visioner.
Namun jika saja peraturan yang ada sengaja untuk dilanggar, bukankah tidak lebih buruk jika juga sekalian dihapuskan saja! Hal ini menggambarkan pembunuhan esensi hukum yang sangat jelas. Negara yang menjunjung penegakan hukum tetapi sembari melanggar hukum.
Apakah ini yang disebut pembohongan publik? Sistem pendidikan yang mengebiri panji-panji perundangannya hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak syetan.
Dapat kita petik kesimpulan bahwa pendidikan saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Jadi boleh dikatakan bahwa bangsa Indonesia sekarang ini, tidak hanya cacat hukum dan menderita karena krisis ekonomi, tetapi juga mengalami krisis moral atau krisis multidimensial.
Subtansinya adalah bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis multidimensi, perbaikannya mesti berangkat dari kesadaran semua pihak, terkhusus penyelenggara pendidikan dan masyarakat pada umumnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya diaplikasikan untuk memberantas buta huruf saja, tapi secara menyeluruh juga untuk memberantas buta hati dan buta moral.
Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan nyata. Cerdas bukan berarti hafal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Pendidikan Indonesia berusaha mencerdaskan kehidupan bangsa tentunya dari berbagai aspek. Cerdas bukan hanya sekedar mengetahui dan sebatas bisa melakukan sesuatu. Cerdas lebih mengarah pada mengetahui serta mampu memilah mana yang baik dan benar serta mana yang buruk dan salah, dengan mengaplikasikan berupa pemikiran-pemikiran serta tindakan-tindakan yang baik dan menghindari pemikiran serta perbuatan-perbuatan buruk.
Dengan demikian cerdas itu tidak mutlak hanya bisa diukur dengan angka-angka pengetahuan akademik semata seperti hasil Ujian Nasional yang dijadikan parameter keberhasilan bidang pendidikan oleh Dinas Pendidikan. Kita berharap pendidikan Indonesia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dapat menjadikan bangsa Indonesia yang memiliki kecerdasan untuk berkomunikasi, tunduk dan berbakti kepada yang Maha Kuasa, cerdas untuk jujur, cerdas untuk peduli dan mengangkat derajat sesama, cerdas untuk menghindari anarkisme, cerdas memperbaiki citra bangsa, cerdas untuk mengolah segala sumber daya diri dan lingkungan untuk bisa dirasakan kegunamanfaatannya oleh seluruh bangsa.
Sejak awal kemerdekaan, kita bertekad “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dari perkataannya jelas, “kehidupannya”-lah yang harus dicerdaskan, bukan sekedar kemampuan otaknya. Mencerdaskan kehidupan bangsa lebih merupakan konsepsi budaya daripada konsepsi biologis-genetika. Para pendiri Republik menolak sikap dan perilaku ke-inlander-an, yaitu sikap hidup sebagai inlander, sebagai yang terjajah, terbenam harga dirinya, penuh unfreedom atau keterbelengguan diri. Kehidupan yang cerdas menuntut kesadaran harga diri, harkat, dan martabat, kemandirian memiliki innerlijke beschaving, tahan uji, pintar dan jujur, berkemampuan kreatif, produktif, dan emansipatif.
Disinilah barangkali pemikiran para pendiri Republik ini dikatakan menembus masa, mendahului lahirnya paham-paham pembangunan progresif yang menempatkan manusia sebagai subjek luhur: bahwa pembangunan adalah pembangunan manusia seutuhnya. Tetapi sekarang bukan saatnya lagi saling menyalahkan. Yang terpenting lagi, bagaimana cara membenahi dan mengurangi kemerosotan moral. Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa generasi bangsa adalah aset negara yang tak ternilai. Mereka adalah calon pemikir bangsa yang harus dipersiapkan untuk membawa bangsa dan negara ini menuju era keemasan.
Inilah PR yang panjang bagi para pemikir bangsa ini untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi krisis moral para pelajar sekarang.®