Menu

Mode Gelap

Daerah · 2 Sep 2022 21:45 WITA

Catatan Harianto Rivai (Bagian 2)


 Harianto Rivai, Pemimpin Umum siagasatu.co.id Perbesar

Harianto Rivai, Pemimpin Umum siagasatu.co.id

Limbah Pendidikan

Lingkungan masuk kategori fasilitas pendidikan, yakni pendidikan informal, jadi cukup tepat jika dikatakan hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup.

Kesimpulannya pemerintah menjembatani atau memberikan mereka ruang agar mereka memiliki potensi melakukan maksiat.
Jika Lingkungan rusak, maka rusak pulalah penghuni lingkungan itu!

Pendidikan itu terbagi tiga, yakni pendidikan formal yang kita dapati di bangku sekolah, pendidikan nonformal yang sifatnya lembaga belajar mandiri atau sekolah di luar sekolah formal, dan pendidikan informal adalah jenis pendidikan yang prosesnya berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan dan media massa.

Berkaitan dengan itu, dapat diidentifikasi ciri-ciri umum pendidikan informal sebagai berikut:
a) Pendidikan berlangsung terus-menerus tanpa mengenal tempat dan waktu,
b) Lingkungan hidup (lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat) adalah ruang belajar,
c) Pengalaman menjadi guru atau dengan kata lain sebagai landasan berfikir,
d) Tidak adanya manajemen yang jelas.

Di dalam lingkungan informal, seseorang secara sadar atau tidak, disengaja atau tidak, direncanakan atau tidak, memperoleh sejumlah pengalaman yang akan menjadi gurunya dalam melakoni perjalanan hidup kesehariannya.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk di dalamnya adalah belajar.

Lingkungan adalah ruang di mana seseorang hidup, baik ruangan fisik, mental maupun spiritual.

Lingkungan itu sendiri sebenarnya netral, tidak mempengaruhi apa-apa jika hanya dilalui sepintas kilas.

Ia baru mempengaruhi manusia ketika menstimuli manusia secara berulang-ulang, terus menerus dalam waktu yang lama.

Pengaruh lingkungan terhadap manusia bisa berupa membentuk atau mengubah tingkah laku, bisa positif dan bisa juga negatif, tergantung kepada faktor-faktor apa yang relevan dengan kegiatan atau dengan perhatian manusia.

Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.

Seringkali pengaruh lingkungan itu sangat besar sehingga bukan hanya mengubah atau meluruskan, tetapi sampai mengalahkan tabiat asal seseorang.

Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial, tak dapat disangkal bahwa kecenderungan pribadi manusia dibentuk oleh lingkungannya, contohnya sangat sederhana; pemerolehan bahasa pertama atau bahasa ibu itu masuk dalam kategori pengaruh lingkungan.

Lingkungan adalah cermin karakter suatu bangsa. Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu, lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia hidup adalah manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya.

Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengidentifikasinya apabila dianggap sesuai dengan dirinya.

Individu yang terlilit suatu problema, biasanya mereka mencoba lari pada pelampiasan. Terlepas dari pelampiasan/pelarian yang arahnya positif atau mereka tak memiliki pilihan lain lagi selain coba-coba, maka tidak menutup kemungkinan ketika mereka dihadapkan pada pilihan jamak pada tiap-tiap menu maksiat, mereka akan sangat dengan mudah menemukannya, karena telah terfasilitasi.

Coba-coba inilah yang wajib kita antisipasi. Cara mengantisipasinya adalah menimalisir pengadaan pilhan menu maksiat siap saji, mengingat dan mempertimbangkan bahwa kita tak mungkin bisa membaca pikiran dan isi hati manusia, dalam arti bahwa kita tak akan pernah tahu kemana alam berpikirnya menuntunnya, kemana keputusan atau pilihannya berpihak. Jika dalam merespons lingkungan itu Ia mengikuti dorongan syahwat dan pikiran rendahnya, maka Ia akan terbawa kepada tingkah laku yang mencelakakan dirinya.

Dari sinilah diharapkan pemerintah mampu meminimalisir, memperkecil atau mempersempit kemungkinan kecilnya peserta didik untuk mengerjakan maksiat dengan tidak menyediakannya fasilitas maksiat. Jadi lingkungan tertentu mempersubur motif yanrg sudah ada dalam nafas manusia untuk memperoleh pemuasannya.

Seseorang yang memiliki motif kepada kebaikan akan mudah terangsang untuk melakukan perbuatan baik jika lingkungan dimana Ia hidup memberikan situasi yang kondusif untuk melakukannya. Jika lingkungan tidak kondusif untuk itu, maka motif kepada kebaikan itu mengendur atau tertekan.

Selanjutnya motif baik yang sudah menguat mudah menggerakkan manusia untuk melaksanakan kebaikan, begitupun sebaliknya. Manusia tidak bisa lepas dari kata “moral”. Karena hanya manusia yang mempunyai kesadaran untuk berbuat baik atau buruk. Masalah moral harus menjadi sentral perhatian setiap manusia, karena baik buruknya moral setiap pribadi menentukan kualitas suatu bangsa.

Nilai moral bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila sebagai fundament negara. Karena dengan nilai-nilai Pancasila kita dapat bertindak dan bersikap sebagai makhluk yang Berketuhanan serta sebagai bagian dari komunitas negara.

Mari kita kembali membuka cakrawala berpikir dan merubah paradigma klasik ini. Benarkah Indonesia adalah bangsa yang Berketuhanan? Memang tidaklah adil jika kemerosotan moral kita timpakan sepenuhnya pada pribadi anak. Kepincangan akhlak bukan kesalahan anak seutuhnya tetapi karena adanya sistem yang berfrekuensi atau memiliki kadar yang cukup besar untuk mengontaminasi perilaku anak. Mereka merupakan korban kelalaian orang dewasa yang selalu berkonsentrasi pada urusan duniawi yang tiada habisnya. Padahal orang dewasa atau generasi tua sering dijadikan teladan oleh anak-anak.

Jika tokoh teladannya sibuk dengan dirinya sendiri, akibatnya mereka kehilangan tokoh panutan dan berbuat semau gue. Setiap anak membutuhkan perhatian, sapaan, penghargaan secara positif dan cinta tanpa syarat untuk mengembangkan dirinya yang berharga.®

Artikel ini telah dibaca 115 kali

badge-check

Administrator

Baca Lainnya

Bupati Malinau Resmi Membuka Lomba Balap Ketinting Peringatan HUT RI ke-79

11 September 2024 - 08:04 WITA

Bupati Malinau Resmi Membuka Lomba Balap Ketinting Peringatan HUT RI ke-79

Anggota DPRD Diharapkan Wujudkan Pemerintahan Bersih

11 September 2024 - 07:58 WITA

Anggota DPRD Diharapkan Wujudkan Pemerintahan Bersih

HUT ke 17 Desa Tengkapak, Momentum Semangat Membangun Desa

11 September 2024 - 07:53 WITA

HUT ke 17 Desa Tengkapak, Momentum Semangat Membangun Desa

Berjalan Selama 21 Hari, Bupati Tutup BMC 2024 Cabor Bola Voli

10 September 2024 - 15:21 WITA

Berjalan Selama 21 Hari, Bupati Tutup BMC 2024 Cabor Bola Voli

Wabup Jakaria: Musrenbang Malinau Begitu Istimewa

10 September 2024 - 15:15 WITA

Wabup Jakaria Musrenbang Malinau Begitu Istimewa

Kontingen PON Kaltara Tampil Menggunakan Pakaian dan Aksesoris Khas Kaltara

10 September 2024 - 15:04 WITA

Kontingen PON Kaltara Tampil
Trending di Advertorial